Minggu, 18 November 2018

Panca Bhakti Insan Imigrasi

Panca Bhakti Insan Imigrasi
  1.  Takwa
  2. Menjunjung tinggi kehormatan
  3. Cendekia
  4. Integritas Pribadi
  5. Inovatif
Tri Dharma Petugas Pemasyarakatan
  1. Kami petugas pemasyarakatan adalah abdi hukum, pembina narapidana dan pengayom masyarakat
  2. Kami petugas pemasyarakatan wajib bersikap bijaksana dan bertindak adil dalam pelaksanaan tugas
  3. Kami petugas pemasyarakatan bertekad menjadi suri tauladan dalam mewujudkan tujuan system pemasyarakatan yang berdasarkan pancasila.

Ikrar Petugas Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM

Ikrar Petugas Pemasyarakatan

         Kami Petugas Pemasyarakatan bertakwa kepada Tuhan YME dengan ini berikrar:

  1. Menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran dan keadilan
  2. Menjaga integritas dalam melaksanakan Tri Dharma Pemasyarakatan
  3. Melayani masyarakat secara professional dan berpegang teguh pada sumpah jabatan

Panca Prasetya Korpri

Panca Prasetya Korps Pegawai Republik Indonesia:

Kami Anggota Korps Pegawai Republik Indonesia adalah insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berjanji:
  1. Setia dan taat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pemerintahan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
  2. Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara serta memegang teguh rahasia negara  dan rahasia jabatan
  3. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat diatas kepentingan pribadi dan golongan
  4. Memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta kesetiakawanan korps pegawai Republik Indonesia
  5. Menegakkan kejujuran, keadilan dan disiplin serta menigkatkan kesejahteraan dan profesionalisme

Kamis, 17 Juli 2014

PBB & Klasifikasi OI Supranasional


Perserikatan Bangsa-bangsa tidak diklasifikasikan sebagai organisasi yang bersifat supranasional.
Pengklasifikasian suatu organisasi internasional didasarkan atas beberapa kriteria, karena organisasi yang sifatnya supranasional berbeda dengan organisasi yang sifatnya koordinatif. Salah satu karakteristik dari organisasi yang sifatnya supranasional mempunyai kewenangan membuat keputusan atau mengeluarkan aturan yang dapat mengikat negara anggota, bahkan ada yang langsung mengikat individu (person) dan perusahaan yang berasal dari negara anggota.[1] Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suatu organisasi yang bersifat internasional :[2]
1.  Keputusan organisasi mengikat negara anggota;
2. Alat perlengkapan yang berwenang mengambil keputusan, tidak seluruhnya tergantung pada kerjasama seluruh anggota;
3. Organisasi mempunyai kekuasaan untuk membuat peraturan yang langsung mengikat penduduk negara anggota. Kewenangan yang demikian mungkin dapat mendesak fungsi pemerintahan tanpa kerjasama dengan pemerintah nasional negara anggota;
4.  Organisasi harus mempunyai kewenangan untuk memaksakan keputusannya. Pelaksanaan keputusan selalu mungkin bahkan tanpa kerjasama dengan pemerintah nasional negara anggota. Parlemen dan badan peradilan nasional boleh memaksa pemerintahnya untuk memenuhi kewajiban terhadap organisasi internasional tersebut;
5.  Keuangan organisasi bersifat otonom. Keuangan organisasi berasal dari dana yang dibayar oleh para negara anggota;
6.  Penarikan diri secara unilateral tidak mungkin.
Dalam organisasi internasional yang bersifat supranasional, negara anggota tidak mempunyai kewenangan secara kolektif untuk membubarkan organisasi atau mengadakan amandemen tanpa kerjasama dengan organisasi yang supranasional tersebut. Namun demikian, hampir tidak ada organisasi internasional yang memenuhi syarat-syarat diatas secara penuh.[3] Jika dilihat dari syarat-syarat tersebut diatas, maka PBB bukan merupakan organisasi yang bersifat internasional. Pertama dapat dilihat dari asas-asas atau  prinsip-prinsip yang diatur di dalam Bab I Piagam PBB yang mengatur mengenai :[4]
  1. PBB berdasarkan asas persamaan kedaulatan semua anggotanya
  2. Kewajiban untuk memenuhi kewajiban-kewajiban sesuai dengan apa yang tercantum dalam piagam
  3. Setiap perselisihan harus diselesaikan secara damai agar perdamaian dan keamanan tidak terancam
  4. Mempergunakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik suatu negara harus dihindarkan
  5. Kewajiban untuk membantu PBB terhadap tiap kegiatan yang diambil sesuai dengan piagam dan larangan membantu negara dimana negara tersebut oleh PBB dikenakan tindakan-tindakan pencegahan atau pemaksaan
  6. Kewajiban bagi negara bukan anggota PBB untuk bertindak sesuai dengan piagam apabila dianggap perlu untuk perdamaian dan keamanan internasional
  7. PBB tidak mempunyai kuasa apapun untuk mencampuri urusan-urusan dalam negeri suatu negara
Salah satu asas yang penting juga adalah  asas kegotongroyongan (Pasal 1 Ayat 1 Piagam PBB), sehingga tindakan-tindakan yang dijalankan atas nama PBB sifatnya kolektif,bergotong- royong sesuai dengan asas-asas demokrasi.Hal yang demikian mengharuskan dijalankannya suatu asas koordinasi, artinya bahwa segala tindakan dan  kegiatan bangsa-bangsa kearah perdamaian harus diselaraskan dan dipersatukan. Asas yang penting juga dalam kaitannya dengan asas gotong royong adalah asas persamaan derajat (Pasal 2 Ayat 1 piagam PBB). PBB juga tidak memiliki organ yang produk keputusan dari organ tersebut sifatnya mengikat, sehingga dapat dipaksakan baik secara nasional ataupun secara individu. Di dalam PBB tidak dikenal mengenai penarikan diri suatu negara dari keanggotaannya, karena Piagam PBB menganggap bahwa tugas utama negara yang menjadi anggota PBB untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia adalah terus melanjutkan kerjasamanya bersama organisasi. Namun pada tahun 1964, Indonesia lewat pidato Presiden Sukarno saat itu menyatakan berakhirnya  keanggotaan Indonesia di dalam PBB, karena terlibat konfrontasi dengan Malaysia yang oleh PBB diterima menjadi anggota  dewan  keamanan PBB. Dalam kasus tersebut, suatu  negara dapat menyatakan  menarik diri dari keanggotaan PBB, tetapi karena tidak dikenal adanya penarikan diri dari keanggotaan PBB, maka saat itu PBB tetap tidak menerima keluarnya Indonesia dari keanggotaan, sehingga Indonesia hanya dinyatakan non-aktif sementara, dan diharapkan dapat melanjutkan kembali kerjasama secara penuh dengan organisasi PBB. Sehingga dengan tidak dipenuhinya beberapa syarat diatas, maka PBB bukanlah organisasi internasional yang bersifat supranasional.



[1]Sri Setianingsih Suwardi, 2004, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, Jakarta, Universitas Indonesia Press, hlm. 33.
[2]Henry G. Schemers, International Institutional Law (The Netherlands, Rockville, Maryland, USA: Sijthooff & Noordhoff, Alphen aan den Rijn, 1980), hlm. 5.
[3] Sri Setianiningsih Suwardi, op.cit., hlm. 34.
[4] Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa

Perjanjian Lisabon/Lisboa



“Treaty of Lisabon/Lisboa”

Perjanjian Lisabon adalah sebuah perjanjian yang disahkan pada tanggal 13 Desember 2007 di Lisboa, Portugal oleh kepala pemerintahan negara anggota Uni Eropa.Perjanjian Lisabon sebagai perjanjian yang memperbaharui perjanjian yang disetujui oleh Uni Eropa yakni Treaty of Nice yang berhasil menghasilkan beberapa keputusan, yakni pembatasan terhadap jumlah anggota parlemen, mengganti mekanisme pengambilan keputusan yang sebelumnya menggunakan unanimity dirubah menjadi qualified majority, merubah bobot negara anggota Uni Eropa, membatasi jumlah anggota komisioner dan memperkuat posisi Presiden Komisi, mendorong untuk diselenggarakannya Konvensi Masa Depan Eropa. Dengan disahkannya Perjanjian Lisabon, maka terdapat beberapa perubahan-perubahan ketentuan yang diatur di dalam Perjanjian Lisabon antara lain adalah:
a.    Urusan politik luar negeri yang sebelumnya dilaksanakan oleh Utusan Khusus Perwakilan Tinggi untuk Kebijakan Luar Negeri juga mengenai Keamanan Umum dan Komisaris Hubungan Luar Negeri dan Kebijakan Bertetangga Eropa, akan dilebur menjadi satu menjadi Perwakilan Tinggi Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan Uni Eropa yang sekaligus merangkap jabatan sebagai wakil ketua Komisi Uni Eropa sekaligus memimpin Dewan Menteri Luar Negeri Uni Eropa.
b.    Diterapkannya modus keputusan lewat pemungutan suara di dalam Dewan Menteri. Kemudian akan berlaku prinsip mayoritas ganda, yaitu dari 55 persen negara anggota, yang harus mewakili 65 persen warga Eropa. Suara mayoritas akan menentukan pengambilan keputusan. Untuk pertama kalinya Perjanjian Lisabon mengatur tingkat mana di Uni Eropa yang bertanggung jawab untuk suatu keputusan.
c.    Posisi Parlemen Eropa sejajar dengan Dewan Menteri dan Pemerintahan di bidang legislatif yaitu dalam hal persetujuan mengenai pengesahan undang-undang. Diberikannya power yang lebih besar terhadap Parlemen Eropa, legislatif nasional negara anggota dan rakyat negara anggota Uni Eropa, membuat Parlemen Eropa memiliki salah satu fungsi utama sebagai pembuat keputusan bersama dengan Dewan Menteri, yang artinya suatu peraturan baru dapat menjadi hukum apabila telah disetujui oleh Parlemen Eropa dan Dewan Menteri.
d.   Merubah sistem rotasi terkait jabatan Presiden Dewan Eropa dengan sistem permanen. Jabatan presiden ini memiliki periode masa tugas selama 2,5 tahun, di mana pemilihan jabatan presiden tidak memerlukan persetujuan dari Parlemen Eropa (dilakukan oleh Dewan Eropa dengan konsep qualified majority voting).
e.    Mengatur secara mendalam hukum bersama mengenai hak asasi manusia, migrasi atau perpindahan penduduk, kejahatan internasional.
f.     Pemberlakuan  peraturan baru terkait jumlah anggota Komisi Eropa mengenai reformasi proses pengambilan keputusan. Sebelumnya Uni Eropa merencanakan pengurangan jumlah anggota Komisi Eropa menjadi 2/3 dari jumlah negara anggota (semula setiap negara memiliki satu perwakilan).
g.    Mempertegas posisi Uni Eropa bahwa Uni Eropa berpedoman pada prinsip-prinsip: demokrasi, supremasi hukum, kesemestaan dan keutuhan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental, penghormatan pada martabat manusia, prinsip-prinsip kesetaraan dan solidaritas, dan penghormatan pada prinsip-prinsip Piagam PBB dan hukum internasional.

Source : wikipedia.org